Tradisi Mandi Kasai, Simbol Penyucian Pengantin di Lubuklinggau yang Bertahan Sejak Abad ke-14

Tradisi Mandi Kasai, Simbol Penyucian Pengantin di Lubuklinggau yang Bertahan Sejak Abad ke-14

Tradisi Mandi Kasai, Simbol Penyucian Pengantin di Lubuklinggau yang Bertahan Sejak Abad ke-14. (Poto: ist/ist)

LUBUK LINGGAU, LINTASSRIWIJAYA.COM – Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan, memiliki banyak tradisi unik yang patut dilestarikan. Salah satunya adalah tradisi mandi kasai untuk para pengantin baru yang baru melangsungkan pernikahan.

Upacara adat ini dilaksanakan setelah acara persedekahan selesai diselenggarakan.

Baca Juga: Tabot Bengkulu: Tradisi Warisan Karbala yang Menyatukan Iman, Budaya, dan Wisata

Baca Juga: Sastra Lisan “Nyambei” dari Rejang Lebong Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2025

Tradisi tersebut merupakan bagian akhir dari rangkaian upacara adat perkawinan masyarakat Lubuklinggau tempo dulu.

Tradisi mandi kasai di daerah Lubuklinggau telah berlangsung sejak abad ke-14, yakni sebelum pengaruh Kesultanan Palembang sampai ke daerah Uluan (Pedalaman Musi Ulu).

Pemandu Museum Subkoss Lubuklinggau, Berlian Susetyo, menjelaskan bahwa dalam tradisi ini kedua mempelai akan dimandikan di sungai oleh sanak keluarga serta ketua adat.

“Jadi mandi kasai adalah mandi pengantin, dilaksanakan seusai acara persedekahan atau duduk pengantin para tamu undangan sebagian besar sudah pulang ke rumah masing-masing tepatnya di sore hari,” katanya dikutip dari detikSumbagsel, Senin (3/11/2025).

“Jadi masyarakat baik itu golongan tua maupun muda-mudi ikut menyaksikan acara adat mandi kasai. Menjelang acara mandi kasai, mereka kembali menuju rumah pengantin. Mereka hanya mengenakan pakaian biasa dikarenakan dalam acara ini orang-orang yang menyaksikan akan ikut basah kuyup,” sambungnya.

Berlian menjelaskan, acara ini dimulai dengan membawa pasangan pengantin dengan cara diarak menggunakan tandu berbentuk angsa bernama Joli Jempano, dan ditandu oleh kerabat serta teman-teman pasangan pengantin menuju sungai.

“Arak-arakan tersebut disertai juga dengan musik gong atau rebana serta sorak-sorakan dari sanak keluarga dan teman-teman pengantin. Sesekali tandu tersebut akan diputar beberapa kali sebelum akhirnya sampai di Sungai Kelingi,” jelasnya.

Setelah sampai di sungai, kata Berlian, akan berlangsung mandi simburan, yaitu para hadirin saling menyemburkan air ke arah masyarakat yang hadir seusai kedua pengantin dimandikan. Momen ini menjadi simbol kebersamaan dan keceriaan masyarakat.

Baca Juga: Menjelajah Pesona Alam Lebong: Dari Negeri di Atas Awan hingga Danau Terbesar di Bengkulu

Berlian mengungkapkan, upacara adat mandi kasai ini memiliki dua makna penting. Pertama, kedua pengantin siap melepaskan masa remaja dalam arti kebebasan bergaul di antara bujang-dere (muda-mudi).

Setelah menikah, mereka harus menyadari bahwa telah memasuki kehidupan berumah tangga dengan segala aturan tak tertulisnya.

“Kedua, sebelum memasuki kehidupan berumah tangga, kedua pengantin harus bersih dan suci. Saat mandi kasai kedua pengantin diberi nasehat serta diperkenalkan dengan keluarga besar pengantin. Harapan dan orang tua kepada mereka pun diungkapkan. Tentunya harapan agar kedua pengantin akan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta diberikan keturunan yang saleh dan saleha,” ungkapnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *