Radio Rimba Raya, Penjaga Suara Indonesia Merdeka dari Tanah Gayo

Radio Rimba Raya, Penjaga Suara Indonesia Merdeka dari Tanah Gayo

Radio Rimba Raya, Penjaga Suara Indonesia Merdeka dari Tanah Gayo. (Poto: ist/ist)

Radio Rimba Raya, Penjaga Suara Indonesia Merdeka dari Tanah Gayo. (Poto: ist/ist)

BANDA ACEH, LINTASSRIWIJAYA.com — Radio Rimba Raya memiliki peran penting dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya saat Agresi Militer Belanda II. Radio ini menjadi corong yang mengabarkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada, lengkap dengan pemerintahannya, meskipun ibu kota negara saat itu telah jatuh ke tangan Belanda.

Radio Rimba Raya berlokasi di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Kini, tempat bersejarah ini menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di dataran tinggi Gayo.

Baca Juga: Tragedi Keluarga di Aceh Tenggara: Lima Tewas Dibacok, Pelaku Masih Buron

Baca Juga: ESI Sumsel Targetkan Medali Emas di PON XXI Aceh-Sumut 2024, Berangkat dengan Kekuatan Penuh

Baca Juga: Polisi Tangkap Tiga Pengedar Narkoba Jaringan Aceh di Lubuklinggau, Amankan 3 Kg Sabu

Sebagai bentuk penghargaan terhadap peran strategis radio ini, dibangun sebuah tugu tinggi yang dinamakan Tugu Perjuangan Radio Rimba Raya, yang diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Logistik saat itu, Bustanil Arifin, pada 27 Oktober 1987.

Pada bagian bawah tugu tersebut terdapat tulisan yang menjelaskan kontribusi Radio Rimba Raya dalam masa perjuangan kemerdekaan, diawali dengan kalimat, “Saat itu sangat kritis…”

Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta—ibu kota Republik Indonesia saat itu—dikuasai Belanda. Radio Republik Indonesia (RRI) berhenti mengudara. Sebaliknya, Radio Belanda Hilversum menyebarkan propaganda bahwa Republik Indonesia telah runtuh. Banyak negara dunia saat itu termakan informasi tersebut.

Dalam situasi genting itu, pada malam 20 Desember 1948, Radio Rimba Raya mulai mengudara. Lewat gelombangnya, radio ini menyampaikan bahwa Republik Indonesia masih eksis, tetap berdasarkan Pancasila, dan semangat Revolusi 1945 masih menyala.

Radio Rimba Raya, Penjaga Suara Indonesia Merdeka dari Tanah Gayo. (Poto: ist/ist)

Keputusan untuk menyiarkan siaran darurat diambil dalam sidang Dewan Pertahanan Daerah pada 19 Desember 1948, yang dipimpin Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Mereka menetapkan bahwa pemancar yang kemudian dikenal sebagai Radio Rimba Raya harus mulai mengudara keesokan harinya.

Tanah Aceh sebagai Daerah Modal Republik Indonesia mempersiapkan pemancar radio kuat yang didatangkan dari luar negeri. Setelah melalui perjalanan panjang, pemancar akhirnya ditempatkan di Ronga-Ronga, dan mulai mengudara secara berkala sejak 20 Desember 1948.

Mengutip laman resmi Pemkab Bener Meriah, Radio Rimba Raya dibangun untuk melawan propaganda Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia telah bubar dan RRI telah dikuasai. Saat semua saluran komunikasi dibungkam Belanda, Radio Rimba Raya tetap bertahan sebagai radio darurat dan menjadi penyeimbang informasi.

Salah satu siaran terkenalnya menyatakan:

“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada. Tentara republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada, dan di sini adalah Aceh.”

Radio Rimba Raya menyiarkan pesannya dalam tiga bahasa: Urdu, Inggris, dan Indonesia. Berlokasi di tengah hutan belantara, radio ini mengudara melalui pemancar berkekuatan 1 kilowatt pada frekuensi 19,25 dan 61 meter. Siarannya terdengar jelas hingga Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina), bahkan Australia dan Eropa.

Siaran ini turut berkontribusi terhadap pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Radio Rimba Raya terus berperan hingga Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Dalam buku “Aceh Daerah Modal” karya Tgk. A. K. Jakobi, disebutkan bahwa pendirian Radio Rimba Raya adalah bagian dari strategi komunikasi massa dalam mendukung perang gerilya rakyat menghadapi penjajahan Belanda. Menurut Bustanil Arifin, radio tersebut dirancang agar mampu menjangkau wilayah strategis seperti Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura—karena jika siaran sudah terdengar di Malaya, maka pesan tersebut akan menyebar ke seluruh dunia.

Awalnya, Radio Rimba Raya mengudara dari Krueng Simpur, Bireuen, untuk menangkal propaganda Belanda. Siarannya bahkan disebut terlibat dalam “duel udara” melawan radio-radio Belanda di Medan, Batavia (kini Jakarta), serta radio Hilversum di Belanda.

Radio ini sering menyebut dirinya sebagai “Suara Indonesia Merdeka”. Siarannya dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India, melalui radio di Penang, kemudian diteruskan kepada L.N. Palar di PBB.

Karena pengaruhnya yang besar, Belanda sempat memburu dan berusaha menghancurkan pemancar Radio Rimba Raya. Akibatnya, lokasi radio ini kerap berpindah, dari Krueng Simpur ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar, dan akhirnya ke hutan lebat di Rimba Raya—lokasi strategis yang sulit dijangkau oleh pesawat Belanda.

Pasca-kemerdekaan, perangkat Radio Rimba Raya disimpan di Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di Yogyakarta. Pada alat tersebut tertulis:

“Pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh, 1948.” ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *