GAZA, LINTASSRIWIJAYA.COM – Pemerintah Israel kembali memakai cara baru untuk menepis tudingan adanya kelaparan parah di Gaza.
Kali ini, strategi yang digunakan adalah menghadirkan influencer asal Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk mengemas narasi bahwa bantuan pangan berlimpah tersedia di perbatasan maupun pasar Gaza.
Baca Juga: UNRWA Ngegas! Israel Diminta Stop Bungkam Soal Kelaparan di Gaza
Baca Juga: Gaza Makin Berdarah: 62 Ribu Lebih Warga Palestina Gugur, Anak-Anak Jadi Korban Kelaparan
Langkah tersebut muncul hampir bersamaan dengan pengumuman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan Gaza tengah mengalami krisis kelaparan masif—kejadian pertama yang tercatat di kawasan Timur Tengah.
Narasi tandingan
Melalui unggahan video di media sosial, para influencer menampilkan tumpukan bantuan di pos perbatasan yang sebenarnya masih ditahan militer Israel.
Mereka membangun citra seolah ada “upaya kemanusiaan besar-besaran” dalam penyaluran logistik. Narasi itu diperkuat dengan nada menyerang media internasional, organisasi kemanusiaan, serta aktivis di Gaza.
Laporan mengenai kelaparan pun disebut sebagai “kebohongan” atau “kampanye terkoordinasi yang dijalankan Hamas”.
Salah satu yang tampil di garis depan adalah Brooke Goldstein, pengacara sekaligus influencer asal AS. Ia ikut merekam konten dari lokasi yang disebut “Gaza Humanitarian Mission” untuk menyebarkan pesan bahwa tudingan Israel menutup akses pangan hanyalah propaganda lawan.
Membangun citra global
Upaya ini berjalan seiring strategi diplomasi publik Israel. Menurut harian Haaretz, Kementerian Luar Negeri Israel tengah menyiapkan tur bagi sejumlah influencer asal AS yang dikenal dekat dengan kampanye “Make America Great Again” dan “America First”.
Target utama mereka adalah anak muda AS, yang belakangan menunjukkan penurunan simpati terhadap Israel.
Kampanye daring difokuskan di platform X (dulu Twitter), dengan menonjolkan narasi keberhasilan Israel menyalurkan bantuan sekaligus menepis kritik lembaga internasional dan media global.
“Sandiwara”
Namun, di Gaza, konten yang beredar justru menuai kritik keras. Banyak warga menyebutnya sebagai “sandiwara” untuk menutupi kenyataan getir.
Mereka menilai media Israel sengaja menampilkan potret semu, sembari terus mencegah masuknya bahan pangan pokok seperti daging, ayam, buah, dan sayur.
Sejumlah warganet menekankan bahwa barang-barang yang ditunjukkan dalam video sebagian besar berharga mahal dan tidak mungkin terbeli oleh kebanyakan warga Gaza.
Sementara itu, harga tepung, gula, atau minyak goreng melonjak hingga beberapa kali lipat.
“Ini bukan bukti ketersediaan pangan, melainkan bagian dari rekayasa kelaparan yang sistematis,” tulis seorang pengguna media sosial.
Dokumentasi yang menyesatkan
Warganet juga mengingatkan bahaya dokumentasi yang dilakukan tanpa kehati-hatian. Kamera, yang semestinya menjadi alat penting untuk merekam kebenaran, bisa berubah menjadi senjata propaganda apabila digunakan secara serampangan.
Rekaman sesaat tentang masuknya truk bantuan atau barang di pasar, menurut mereka, dapat menimbulkan kesan keliru bahwa seluruh Gaza berkecukupan. Padahal, kenyataan sehari-hari menunjukkan sebagian besar warga hidup dalam kelaparan dan kekurangan.
Para aktivis menegaskan, celah semacam ini sengaja dimanfaatkan media Israel untuk mereduksi penderitaan warga Gaza, lalu dipoles agar sesuai dengan strategi komunikasi Israel.
Sejumlah blogger juga menyoroti fakta bahwa sebagian bahan pangan yang sempat masuk, seperti gula, tepung, kopi, dan minyak goreng, kini dijual dengan harga sepuluh kali lipat dari sebelumnya.
Situasi ini tetap membuat warga tak mampu membeli kebutuhan pokok. Bahkan, bahan penting lain seperti daging segar, ayam, buah, dan sayuran masih sama sekali tidak tersedia.
Mereka menekankan bahwa pengukuran kelaparan oleh lembaga internasional didasarkan pada penelitian lapangan sistematis, bukan pada potongan video atau pernyataan sepihak.
Namun, karena kuatnya jaringan pendukung Israel di ranah media dan ekonomi global, propaganda semacam itu tetap bergema luas.
Baca Juga: Israel Ngaku Bisa Kehilangan 100 Tentara Kalau Nekat Invasi Gaza, “Rencana Gila” Tuai Protes!
Baca Juga: Tragedi Gaza: 1.924 Warga Palestina Tewas Saat Menunggu Bantuan Kemanusiaan
Kisah pilu di tengah propaganda
Di tengah derasnya arus propaganda, kisah tragis terus muncul. Seorang mantan tentara AS mengaku menyaksikan seorang anak bernama Amir ditembak mati tentara Israel saat mencoba mendapatkan makanan. Hingga kini, orangtua Amir bahkan tidak tahu di mana jenazah putranya berada.
Kontradiksi antara realitas getir dan narasi resmi Israel pun semakin mencolok.
“Jika memang tidak ada krisis pangan, mengapa masih ada orang yang meninggal karena kelaparan, serangan, dan penghinaan setiap hari?” tanya seorang pengguna media sosial.
Sebagian lain menilai strategi komunikasi Israel sudah tak lagi efektif. Foto-foto anak-anak Gaza dengan tubuh kurus kering kini menyebar luas di layar ponsel dunia.
Meski Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berulang kali menyebut gambar itu “rekayasa”, opini publik global kian sulit diarahkan.
Bahkan, ada yang menyebut barang-barang yang dipamerkan dalam video sudah berbulan-bulan tertahan di bawah terik matahari di perbatasan, hingga rusak dan berisiko menimbulkan penyakit usus, diare, atau kolera ketika akhirnya dibagikan.
Aktivis pun mengingatkan kembali propaganda era 1990-an yang terbukti berhasil menipu opini publik internasional. Seperti klaim palsu juru bicara militer Israel maupun kesaksian wartawan asing mengenai kekejaman di perbatasan Gaza.
“Jika dulu propaganda bisa berhasil, sekarang justru menjadi bahan olok-olok di tengah keterbukaan teknologi dan media modern,” tulis seorang aktivis.
Banyak yang menyimpulkan, jalan terbaik untuk meredakan silang narasi adalah membuka akses penuh bagi jurnalis internasional.
“Biarkan media dunia meliput langsung. Jika Israel yakin dengan klaimnya, mengapa harus takut dengan kamera independen?” ujar seorang warga Gaza. ***

